Thursday, April 19, 2007

you never asked | part six

Brandon Ruffian. 16 tahun. Kelas 3 IPA 2. hari itu aku datang ke sekolah jam 6:30. Dani sudah ada di kelas, tapi Aryo belum datang. padahal dia piket hari ini. anehnya, tak ada satupun anak yang mencoba menggodaku setelah kejadian kemarin. biasanya kalo ada yang ketauan naksir gitu langsung digosipin dan digoda-godain abis-abisan. well, maybe it's just my luck. pagi itu aku sangat tidak bersemangat. aku tidak beranjak dari mejaku sedikitpun, hanya menaruh dua tangan di atas meja lalu membenamkan kepalaku di tengah-tengahnya. jam 6:50. kelas sudah ramai. tapi ada satu orang yang hilang, dan satu orang ini biasanya sangat menyita perhatianku. Chika. Chika belum datang. dan ini sudah hampir bel masuk jam 7. ah, mungkin hanya terlambat biasa. tapi biasanya jarang sekali Chika terlambat. Aryo sampai di sekolah bersamaan dengan bel masuk dan sempat mengundang wajah seram Bu Rahma karena mencoba menyelinap masuk ke dalam kelas saat dia sedang memeriksa daftar absen.

"pagi Bu. maaf saya terlambat." kata Aryo di depan kelas.

"kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Rahma.

"biasa Bu, macet." jawab Aryo polos.

"ya semua orang juga tahu Jakarta macet, makanya lain kali berangkat lebih pagi. pasang itu jam di jidat kamu, biar nggak terlambat lagi." kata Bu Rahma.

"ya Bu." jawab Aryo pasrah, kemudian berjalan ke tempat duduknya.

pelajaran pun dimulai. sesekali aku memaksakan diri untuk menengok ke belakang, melempar pandanganku ke arah mejanya Chika. mau ngga mau memang harus berpapasan dengan mukanya Dani. untungnya sebelum Bu Rahma sempat melempar kepalaku dengan penghapus papan tulis, aku sudah keburu kembali menengok ke depan sambil memegang tip-ex yang kuambil dari mejanya Dani. itu juga gara2 pelototan matanya Dani, yang seolah2 mengisyaratkan "heh. Bu Rahma ngeliatin tuh. liat ke depan sono! nih tip-ex." tampaknya Bu Rahma hari ini sedang agak2 senewen. apalagi ditambah Aryo yang telat masuk. untungnya pelajaran Bu Rahma tidak begitu membosankan. bel pergantian pelajaran pun akhirnya berbunyi. dan Chika masih belum datang juga.

"man, kenapa lo? dari tadi diem aje. ngga ke kantin lo? jajan? nitip permen dong gue." kata Dani.

"ogah ah, males. males ngapa2in gue." jawabku singkat.

"ah ngga asik loo.. eh guru guru guru." ujar Dani.

dan kemudian seluruh kelas berdiri memberi salam kepada Pak Budi. namun tidak lama kemdian, datang 3 orang, sepertinya anak kelas 2, yang bertugas menarik amal untuk masjid di sekolah. ini kan baru hari Rabu, pikirku. biasanya mereka selalu datang hari Jumat setelah jam istirahat. dan kadang suka digoda2in sama cewek2 di kelas. biasa, mungkin cewek2 yg kurang laku itu pada nyari gebetan di kelas 2. soalnya dulu aku juga pernah beberapa kali digodain. kemudian mereka meminta ijin kepada Pak Budi untuk membacakan pengumuman. hmm, ini pasti bukan sekedar amal jariyah, pasti ada sesuatu yg lain.

"assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." sapa si anak yang membawa map, suasana kelas masih saja ribut, ada cowok2 yang bersiul2, ada cewek2 yang melirik2 sambil ketawa2. ada juga yang sok2 belain mereka dengan berkata

"ehem ehem. oi dengerin dong, kesian kan kalo digodain, heheh cieeeh2 ada yg ngelirik tuh, kelas berapa niiih?"

ujung2nya tetep aja nggodain. kemudian suasana kelas mendadak langsung menjadi hening, aku juga sempat terdiam beberapa saat setelah si anak yang membawa map itu berkata

"innalillahi wa inna ilaihi raajiun. telah berpulang ke rahmatullah, Chika Anindya Putri, siswi kelas 3 IPA 2 pada hari Selasa, 14 September 1999. jenazah akan dikebumikan jam 13:00 siang ini di taman pemakaman Jeruk Purut. untuk itu marilah kita berdoa semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT dan diampuni segala dosa dosanya."

pandanganku kosong. pendengaranku hilang. untuk sesaat aku lupa bagaimana caranya menghirup nafas. aku benar2 terdiam, tak menghirup nafas sedikitpun, sampai jantungku berdetak begitu kencangnya, karena hampir kehabisan oksigen. lalu aku menarik nafas panjang. kepalaku pusing, mataku berkunang2. badanku lemas dan kesemutan. rasanya seperti mau pingsan. tiba2 seluruh badanku gemetar. aku tak kuasa menahan dorongan untuk berteriak. rasanya dada ini penuh sesak. ingin kukeluarkan semuanya.

"bersama itu pula, kami mohon bantuan amal seikhlasnya untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan."

tanpa pikir panjang lagi aku langsung membereskan barang2 di mejaku dan berlari menuju Pak Budi.

"Pak, maaf saya ijin keluar sebentar, terima kasih Pak." kataku.

aku berlari menuju ruang piket. kemudian tanpa pikir panjang aku meminta ijin untuk pulang. setelah beberapa menit berdebat dengan guru piket, akhirnya aku diijinkan untuk pulang. aku tak berbicara sepatah kata pun saat memasuki kelas. Dani juga cuma bisa diam. aku membereskan tasku lalu keluar kelas. keluar sekolah. dan entah apa yang kupikirkan, tiba2 aku tersadar berada di angkutan umum yang menuju rumah Chika. aku tak henti2nya mencoba mengusir bayangan wajahnya dari kepalaku. ingatan tentang dia muncul satu persatu, bergantian. aku tak bisa diam menunggu angkutan umum ini sampai di dekat rumahnya. aku turun dari angkutan dan berlari menerobos kemacetan di sebuah perempatan lampu merah. hampir saja aku terserempet oleh motor yang sedang melintas saat aku turun. namun itu semua tidak menghalangiku untuk mempercepat langkah kakiku.

sesampainya di rumah Chika, perasaanku benar2 ngga enak. dari teras terlihat dan terdengar beberapa orang sedang membaca ayat2 al-quran. entah kenapa suaranya sangat membuat kepalaku pusing, dan telingaku budek. mungkin karena aku masih belum menerima kenyataan kalau Chika sudah meninggal. sejak tadi yang ada di kepalaku hanya kata2 itu. Chika meninggal? ngga mungkin. bohong. pasti bohong. ngga mungkin dia secepat itu. karena itulah di sekolah tadi tanpa sadar aku langsung memutuskan untuk pergi ke rumahnya, untuk memastikan dengan mata kepalaku sendiri. aku menuju ke ruang tamu. terlihat sebuah sosok terbaring disana. aku tak mempercayai mataku sendiri. aku memaksakan diri melangkah menuju meja tempat sosok itu terbaring. dalam pikiranku, aku berpikir, "ini ngga mungkin orang lain, ini pasti Chika, kenapa sih lo masih ngga percaya juga, Brandon?" semakin dekat langkahku semakin berat. tanganku kembali gemetar, saat aku mengangkat kain yang menutupi muka dari jenazah yang terbaring itu. seketika itu juga, terlihat wajah Chika yang sudah sangat pucat, dibalut kain kafan. aku tak bisa melawan kehendak tubuhku lagi, aku hanya diam saja saat tubuhku memaksaku untuk terjatuh dan pingsan. seingatku, aku terbangun di ruang tengah, setelah ditolong oleh orangtuanya Chika.

Brandon Ruffian. 23 tahun. perasaan itu kembali menghantuiku sekarang. aku tak bisa tenang, aku merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. kemudian aku mencoba menelpon Amelie. hmm, voicemail, tak ada jawaban. aku mulai curiga. tiga kali aku mencoba menelpon, tapi dijawab oleh voicemail. saat aku mencoba untuk keempat kalinya, tiba2 saja telepon genggamku berdering tepat di telingaku. rasanya gendang telinga ini mau pecah.

"hello." sapaku.

"hi Brandon, this is Mrs. Ashcroft." jawab Mrs. Ashcroft di ujung telepon.

"oh hi! i didn't expect you'd call, heehee.." jawabku.

"i was just wondering. yesterday you said that you're coming for dinner tonight, right?" tanya Mrs. Ashcroft.

"oh yeah! right. i almost forgot. Danisha wanted me to help with her science project, right?" jawabku.

"yes, she's right here at home. waiting for you. so, what time will you be here?" tanyanya.

"i'll be there right away. maybe around 5 or 6 o clock." jawabku.

"ok then, be careful on your way here, ok?" balasnya.

"ok, see you later Mrs. Ashcroft. bye." kataku.

"bye." kata Mrs. Ashcroft.

oke. waktunya membuang jauh2 tentang ingatan masa lalu itu. walaupun begitu, aku tak bisa membohongi perasaanku, ada sesuatu yang ngga beres nih. aku mencoba menelpon Amelie kembali. lagi2 tak ada jawaban. i knew it. something happened and i can feel it. something happened, with Amelie. i don't know what. i don't know why. but i know, that i'm going to find out..

Sunday, April 08, 2007

you never asked | part five

sudah 2 jam lebih kita ngobrol di coffee shop. ternyata banyak hal lain yang bisa kita obrolin daripada sekedar mengajari Amelie bahasa Indonesia. tiba-tiba sebuah handphone berdering. rupanya milik Amelie.

“hold on. yes mom?” sapa Amelie, rupanya ibunya yang menelepon.

“sure. it’s just a couple of blocks from here. i’ll be there right away.” kata Amelie kepada ibunya di telepon.

“so. uh, i’m really sorry, but i gotta run. my mom’s waiting.” katanya.

“whoa, what’s the rush? but don’t worry ‘bout me, i’m fine.” tanyaku.

“i dunno, my mom just called, i think she wants me to pick her up.” jelasnya.

“okay then, i hope i can see you again, maybe some other time.” kataku.

“okay, bye.” katanya sambil beranjak pergi.

“bye.” balasku pelan.

kemudian yang terlihat dari Amelie hanya punggungnya. saat dia keluar dari pintu coffee shop. tiba-tiba saja ingatan tentang Priscilla kembali menghantui pikiranku. aku memang sering teringat hal-hal yang tidak mengenakkan kalau lagi sendirian. itulah kenapa aku sangat butuh teman-temanku. mereka sangat membantuku untuk melupakan ingatan-ingatan yang tidak mengenakkan itu.

selama beberapa tahun terakhir ini, hanya sebagian teman-temanku yang tetap setia menemaniku kapan saja. diantaranya ada Daryl dan Sean. lalu Travis Quadrian, temanku dari jaman kuliah yang sejak tahun lalu pindah dan tinggal di Malaysia. jadi sejak dia pindah kita hanya bisa berhubungan lewat Yahoo Messenger. kemudian ada Fergie Fitzgerald dan kakaknya Harry Houseman, mereka juga sama-sama kuliah di MIT, Harry satu jurusan denganku, sementara Fergie di jurusan lain. aku sempat tinggal di rumah mereka dan sempat cukup dekat dengan Mr. dan Mrs. Sommers. mereka memang orang asli sini. kira-kira apa kabar ya mereka.

ah iya. ngga lupa juga, temanku di Jakarta, Utha Andira. aku bertemu Utha secara tidak sengaja di friendster, lalu kita juga sering chatting di Yahoo Messenger. waktu itu sempat waktu aku pulang ke Jakarta dan bertemu dengannya. hanya sekali. ah kalau ingat Jakarta, aku jadi ingat masa lalu. sebenarnya masa laluku pun tidak sepenuhnya menyenangkan. ada sebuah kejadian yang sangat membuatku shock. aduh, kok aku jadi mengingat kejadian ini ya? argh. i can’t help it. ingatan tentang kejadian waktu itu terlintas begitu saja di pikiranku, tanpa permisi..

Brandon Ruffian. 16 tahun. Kelas 3 IPA 2. waktu itu aku lagi doyan-doyannya nge-band. bareng sama Dani, Adi, Aryo, sama Odenk. Dani itu jago main gitar, aku belajar banyak dari dia. Adi jago main bass, tapi aku nggak ada niatan sama sekali buat main bass, kalo Aryo suaranya kaya orang gila, dia bisa nyanyi macem-macem. si Odenk paling jago main drum. kerjaannya mainin stik drum melulu. sampe diomelin guru olahraga gara-gara bawa stik drum pas pelajaran basket (ya iya lah, dodol.) kita berempat sekelas semua, cuma si Odenk yang anak kelas 3 IPS 1 jadi dulu nama band kita “Three+”.

aku pulang sekolah bareng geng yang beda banget sama geng aku nge-band. isinya orang-orang kacau semua. wuah payah deh. bisa nggak maju kalo ikut-ikut mereka terus. yang jangkung namanya Ratno, jago main basket (macam Sawamura di Harlem Beat lah, asli persis banget. semuka-mukanya selicik-liciknya, najis.) yang gendut namanya Ade, aslinya sih Syarifudin, gendut tapi jago main sepatu roda, omongannya sekitar selangkangan terus, gak ada abisnya. yang kecil namanya Adit, anak kelas 2. dia itu paling bego dan paling nggak tau apa-apa. kalo dibo’ongin iya iya aja. nggak pake nanya. kadang-kadang kesian juga sama dia.

sebenernya dari dulu aku pengen banget ngerasain yang namanya punya pacar. kayak apa ya rasanya? aku inget banget pernah dicuekin sama geng pulangku itu gara-gara aku pernah pulang bareng cewek yang kutaksir dan gara-gara itu juga aku jadi digosipin abis-abisan. katanya lupa temen lah. pengkhianat lah. wek. biar sekalian aja aku lepas dari mereka. emang dasar kumpulan orang-orang dodol. pikirku waktu itu. bilang aja sirik, huehehehe.

ada satu orang temen sekelasku, sukanya duduk di belakang, awalnya kuanggap dia biasa-biasa aja, nggak ada yang spesial dari dia, seperti teman-teman sekelas yang lainnya. tapi sejak kejadian ‘kelompok belajar’ itu akhirnya aku jadi berusaha deketin dia. kejadiannya itu waktu Pak Budi lagi ngumunin nama-nama kelompok.

“kelompok 3, anggotanya Brandon, Chika, Fajar, Kurniawan, dan, Risa, yak silahkan berkumpul menurut kelompoknya ya. kelompok 4, Dani, Galih..”

sejak ‘insiden’ itu kita sering belajar bareng, ngerjain tugas bareng, ngumpul bareng. tanpa kusadari, ada perasaan yang beda kalo lagi ngumpul bareng geng pulang, sama kalo lagi ngumpul bareng kelompok belajar. giliran janjian sama geng pulang, kalo gak bisa dateng ya udah, tinggal telpon, maaf-maaf dikit, beres. tapi kalo sama kelompok belajar, beda. apapun kuusahain supaya bisa ngumpul bareng mereka, terutama sama..

entah sejak kapan ya. aku mulai tertarik sama Chika. aku mulai nganggep dia lebih dari sekedar temen sekelas golongan SDSB (Siswa Deretan Sebelah Belakang. apa coba.) atau sekedar temen belajar kelompok yang janjian ketemuan di rumah si anu, atau si itu, ngebahas anu, ngerjain itu. aku ngerasa sesuatu yang beda. setiap ketemu dia, aku selalu deg-degan. nggak jelas. kayaknya aku mulai suka sama dia, mungkin lebih. yang aku rasakan cuma pengen ketemu dia lebih lama. apa aja kulakukan biar bisa ketemu dia terus. walaupun akhirnya aku cuma bisa cengar cengir sambil memandangi wajahnya.

akhirnya aku mulai perhatiin Chika kalo lagi di kelas. baru nyadar, anaknya oke juga ternyata. cakep, pinter, senyumnya manis. sampe suatu hari katanya dia dideketin sama Andi, ketua kelas. awalnya aku ngga nyadar kalo Chika dideketin. aku mulai nyadar sejak si Dani, gitaris bandku itu bilangin aku, dan kebetulan Dani itu duduknya di belakang mejaku. kalo mau nyari Chika di kelas kan musti nengok ke belakang, jadi mau ngga mau musti berpapasan dengan mukanya Dani.

“man, mending lo ngomong langsung aja deh ke Chika, daripada diembat orang duluan, tuh liat.” kata Dani.

“ah rese lo. iya tuh kayaknya lagi dideketin si Andi. tapi gimana dong? gue kan paling ngga bisa ngomong langsung ke cewe.” balasku.

“yah, dibilangin ngeyel sih lo. kalo lo bilang, kemungkinannya kan jadi 50-50, 50% diterima, 50% lagi ditolak. beres kan? daripada lu diemin begini, kemungkinannya apaan? lo ngga akan tahu sebelom lo coba bro.” jelasnya.

“well, you got a point there. bener juga lo. pengen sih gue bilang, tapi lo tau sendiri kan, gue udah bilang tadi, gue paling ngga bisa ngomong langsung sama cewe, apalagi yg gue suka, pasti langsung diserang deg-degan duluan gue.” balasku.

“ah cupu lo. yaudah kalo ngga bisa ngomong langsung, mending lo tulis surat aja gimana?” usulnya.

“wah boleh juga lo. lo pinter juga ya urusan beginian. ngga cuma jago maen gitar, urusan cewe tokcer juga otak lo. kok lo baru sekarang sih ngasih saran yang cemerlang begini, kenapa ngga dari dulu-dulu waktu gue lagi naksir Ferra?” kataku.

“well, you never asked.” jawabnya singkat.

“ah rese lo.” balasku singkat juga.

kemudian kita berdua ketawa-tawa kaya orang bego. so, karena aku orangnya nggak bisa ngomong langsung ke dia, dan atas dasar ide cemerlang dari si Dani, akhirnya aku nulis surat buat Chika. dan ternyata nulis surat pun sama susahnya dengan ngomong langsung. aku menghabiskan 5 jam buat nulis surat yang isinya cuma 7 baris. 8 deh kalo tulisan “dear Chika,” yang ada di paling atas itu dihitung juga. akhirnya aku tidur nyenyak jam 2 pagi. damn. sekolah kan masuk jam 7.

oke. keesokan harinya akhirnya surat itu aku taruh di laci mejanya pas istirahat siang. tapi apa yang terjadi bener-bener bikin aku shock. sekembalinya aku dari kantin, dari deket kelas terdengar anak-anak pada ribut. Dani dan Aryo ada di luar kelas.

“man, ke kantin yok, sampe pelajaran mulai.” kata Dani.

“lah, gue baru dari kantin kali. itu ada apaan sih ribut-ribut di dalem? Farid ya?” kataku sambil ngintip ke dalam kelas. Chika ada di dalam.

“udeh pokoknya lo jangan masuk kelas dulu, daripada” kata Aryo.

“daripada apaan?” tanyaku.

tiba-tiba terdengar suara Farid. suaranya keras sekali. dan apa yang dikatakannya membuatku kaget setengah mati. karena kata-kata yang diucapkannya itu baru saja aku tulis tadi malam. kata-kata yang sampai jam 2 pagi aku pikirkan. kata-kata di surat itu.

“dear Chika, mungkin di mata elo, gue cuma temen sekelas biasa aja, tapi akhir-akhir ini gue mulai ngerasa ada sesuatu yang beda. gue mulai nggak bisa ngelupain elo. kalo gue nggak ketemu elo rasanya ada yang kurang. mungkin gue kangen.” kata Farid.

what the hell? kok surat itu bisa ada di tangan Farid? mati aku. ini sih bukan cuma Chika, seluruh kelas pasti tahu aku suka sama dia. mati. mati. mati. rasanya seperti ingin hilang ditelan bumi.

“gue suka sama elo. elo mau nggak jadi pacar gue? gue serius mau jadian sama elo. gue tunggu jawaban elo secepatnya. gue percaya, elo pasti ngasih jawaban terbaik, makasih.” kata Farid, menyelesaikan isi suratku yang dibacanya.

“ciyeeeee Brandon. suit suit!!” seluruh kelas langsung menyoraki. ah gila, aku malu setengah mati. dan di tengah-tengah keributan itu tiba-tiba Chika datang menghampiriku. sepertinya dia ingin memberitahu sesuatu padaku. semoga ini berita bagus, pikirku. tapi ternyata, suara yang terdengar dari mulutnya hanya..

“maaf ya.” katanya singkat.

aku bengong, tapi kepalaku mengangguk dengan sendirinya. ingin rasanya berteriak di depan mukanya “maaf?! maaf buat apa?! maaf gue nggak bisa jadi pacar lo?! tapi bukan berarti lo bisa permaluin gue kaya gini dong! gue juga manusia!!” ugh. dadaku sakit. rasanya mau pecah. yang aku tahu, Chika sengaja membiarkan Farid membaca surat itu di depan anak-anak. Chika sengaja mau membuatku malu didepan anak-anak. ya iya lah. mana mungkin Chika punya perasaan apa-apa kepadaku.

kemudian bel istirahat selesai berbunyi. sepanjang pelajaran sampai bel pulang aku hanya diam saja. aku tidak menengok ke belakang sedikitpun. bahkan Dani yang memanggilku dari belakang pun aku cuekin. rasanya ingin cepat-cepat pulang, membenamkan kepalaku di dalam bantal. hari itu, waktu berlalu lambat sekali. menunggu dering bel pulang terasa lebih lama dari biasanya. begitu bel terkutuk itu berbunyi, tanpa pikir panjang aku langsung membereskan barang-barangku dan beranjak cepat-cepat menuju ke luar sekolah.

“Brandon, tunggu bentar. gue mau ngomong.” ujar suara yang sangat kukenal.

yak, betul sekali. Chika yang manggil. tapi tanpa memperdulikannya aku terus berjalan keluar sekolah sambil mempercepat langkah. hari ini memang tumben-tumbennya aku keluar duluan. kalo bukan gara-gara insiden memalukan itu tadi, biasanya aku masih nongkrong di kelas dan ngobrol bareng Dani atau Aryo, menunggu geng pulang-ku datang. tapi kali ini aku terpaksa jalan duluan, dan meninggalkan Chika yang sejak tadi memanggilku. perasaanku benar-benar nggak karuan. rasanya aku nggak mau bicara dengannya lagi. dan ternyata itu benar-benar menjadi kenyataan.

Wednesday, April 04, 2007

putar balik waktu-ku

putar balik waktu-ku
saat mulai ku berkata "a"
hingga berlari dan tersandung
menangis dan meraung

putar balik waktu-ku
saat mulai ku mengenal bahagia
hingga meneteskan air mata
tak ingin berakhir begitu saja

putar balik waktu-ku
saat mulai ku berkata tidak
hingga habis segala rindu
musnah manis di dalam madu

putar balik waktu-ku
saat mulai ku merangkai mawar
hingga kali ini pun masih sama
tapi kali ini untuk siapa?

putar balik waktu-ku
saat mulai ku bertemu dengan-mu

bondanrastika@4/4/07 - 8:39 AM [dimanakah, -mu?]

Monday, April 02, 2007

you never asked | part four

“hi, sorry to keep you waiting.” kataku pada Amelie sambil menjabat tangannya.

“oh no, it’s ok, i just got here too anyway.” jawab Amelie.

“oh really, hey what are you having there?” tanyaku.

“umm, baked chocolate chip muffin and black espresso.” jawabnya.

“i see. hey Larry! i’ll have tuna sandwich and belgian chococoffee milk” kataku.

“no kidding. you have belgian chococoffee milk? that’s the reason i always come to Bosworth’s Cafe across your place.” tanya Amelie, terkejut.

“oh it’s a long story. so it’s way before i graduated. we go way back. i’m a student here at MIT. one day i happen to be at Bosworth’s, waiting for Daryl. and i ordered that belgian chococoffee milk. and what can i say, i totally fall in love with it. so when i opened this coffee shop, i made my own belgian chococoffee milk. and it’s great. but i don’t normally sell them to my customers.” jelasku.

“how come i didn’t see that on the menu?” tanya Amelie.

“you never asked..” jawabku singkat.

“hahaha..” Amelie tertawa.

“hey Larry! another belgian chococoffee milk for this lady please!” kataku pada Larry di ujung sana.

“coming right up!” ujar Larry.

“don’t worry, it’s on me” kataku pada Amelie.

“thanks.. hee hee.. so where’s Daryl? i didn’t see him since i got here..” tanya Amelie.

“oh, Daryl’s at the gameshop with Sean. they probably wouldn't want any disturbance up until this evening, cos Sean's bringing a new PS3 home with him.” jelasku.

“owh, that prick. he’s starting to get on my nerves. shouldn’t he be leaving any messages to me? argh.” balasnya agak kesal.

“oh well, like it or not, i guess you’re stuck here with me, hahaha..” kataku.

“yeah, at least i get a good treat of that belgian chococoffee milk of yours, hahaha..” jawabnya sambil tertawa ringan.

“here you go.” kata Larry sambil menyuguhkan pesanan Amelie kepadanya.

“thanks Larry. i’ll take it from here. so, what is it that you wanna talk about with Daryl?” tanyaku.

“oh, i was going to talk about my trip to Indonesia, particularly Jakarta.” jawabnya.

“no kidding. i AM from Jakarta. say, what business are you doing there?” tanyaku lagi.

“oh it’s just a research, nothing important.” jawabnya. aku tahu pasti ada yang disembunyikannya dariku.

“research? no way. c’mon, there must be something else. you know, you can hide it, but i still gonna know. well, as far as i know, trust me, there’s nothing worth of a good research there.” balasku.

“did you say you were from Jakarta?” tanyanya.

“yup. i’m pretty much Indonesian, myself. what’s about it?” jawabku sambil menunggu pertanyaan yang sudah kuduga akan ditanyakannya.

“so you can speak a little bit of Bahasa Indonesia? would you care to teach me how?” tanyanya.

“well, not little, as a matter of fact, i know Bahasa Indonesia quite well, since i’ve been receiving phone calls from my family back there. so what brings you to ask me to teach you?” balasku.

“okay. let’s try speak Indonesian for a while. i need you to teach me how to pronounce it well.” kata Amelie.

“oooww..kaaayy.. but, what for? c’mon, there’s gotta be a reason behind this. i’ll teach you, but you have to fill me in. deal?” kataku.

“owh, you’re just the same with Daryl, aren’t you. i’ll fill you in, later. first, you gotta teach me how. this is interesting, you know.” katanya.

“tch, ya udah. terserah lah.” kataku.

“huh? what was that you said?” tanya Amelie kebingungan.

“oh, i said.. ya udah. terserah lah. it’s what you pronounce in english as fine, whatever.” jawabku.

“wow, nice. tell me something else.” pintanya.

“ok, let’s just put it this way.. ngapain kamu ke Jakarta? bilang sejujurnya ya?” balasku.

“what does that mean?” tanyanya.

“in english, it means, what are you doing in Jakarta? tell me the truth, ok?” jawabku.

“hmm.. nice try. ok, how do you say.. i want to meet someone in Jakarta?” tanyanya.

“ok, that’ll be.. aku mau ketemu seseorang di Jakarta.” balasku.

“whoa.. you’re good at pronouncing it” tanyanya.

“of course.. i’m indonesian, duh. ehem.. [clears throat] jadi, siapa yang mau kamu temui di Jakarta? keluarga? temen? atau.. pacar? that’ll be.. so, who do you want to see in Jakarta? family? friend? or.. boyfriend?” tanyaku.

“whoa there, slow down.. how do you say family and friend in Indonesian again?” tanyanya balik.

“it’s keluarga and temen. and you haven’t answer my question” jawabku.

“ok, that’s a new one. oh, by the way it’s just a friend.” jawabnya.

“a friend. not a boyfriend?” tanyaku.

“really, just a friend.” jawabnya.

lalu aku tertawa kecil dan kami saling berpandangan sejenak. susah rasanya untuk tidak me-maintain eye contact dengan perempuan secantik Amelie. rasanya aku ingin terus menatapnya. melihat ke dalam bola matanya. sampai akhirnya, mendadak aku blank. tak tahu harus berkata apa. tak tahu harus melakukan apa. mendadak bayangan Priscilla muncul lagi di depan mataku. damn it. what should i do?

catatan antara tiga dan empat | finding my reasons for living

running in place. mungkin hanya itu yang selama ini saya lakukan. tak beranjak dari tempat berdiri yang tadi. rasanya seperti hilang di dalam waktu. sesaat memang terasa menyenangkan, namun lama-lama bosan juga. sepertinya sudah saatnya mencari sesuatu yang baru. bertemu dengan orang-orang baru. melakukan hal-hal baru. menulis puisi-puisi dan lagu-lagu baru. mungkin untuk seseorang yang baru, entah siapa. masih belum terpikirkan. yang ada dalam pikiran sekarang hanya, mungkin lebih mudah melakukan segalanya saat sendirian. paling tidak untuk saat seperti sekarang ini. toh saya masih punya banyak teman, hehehe.. "i'll be lonely but i know i'll be okay. good love is on the way."

hmm.. sepertinya di empat ini akan banyak pengeluaran. harus beli hp CDMA yg baru, atau mungkin beli iPod nano, soalnya iPod yg gede ini makin lama makin males bawa2nya, huh. mana isinya berantakan pula. jadi males milih-milih lagunya. lagian yang didengerin juga lagu yang itu-itu saja. atau beli accessories MacBook Pro. mungkin juga beli external case buat harddisk yang lagi nganggur di rumah, lumayan, bisa nambah space 160GB lagi. ah iya, sampai sekarang di rumah belum bisa pasang internet. ngga papa juga sih kalo cuma pake telkomnet instan, kalo cuma buat chatting sama friendster-an, hehehe.. tapi ngga bisa buat download. hmm.. mungkin juga mau beli accessories buat Nintendo DS Lite. paling ngga beli casing Black Horns atau soft case nya, jadi dibawa2nya lebih enak. aduh kalo udah gini lama-lama pengen beli Nintendo Wii juga nih. arrrgh.. mau semuanyaaa.. (tapi duitnya darimanaaa..)

[Bondan, 2 April 2007, 7:18 PM, sambil ngelap2 DS dan MacBook Pro sampe kinclong..]